Bismillah.
Diantara kedalaman ilmu para ulama adalah apa-apa yang mereka pahami terhadap Kitabullah. Salah satu contohnya adalah apa yang diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Beliau memaparkan di dalam kitabnya Ahkam minal Qur’an al-Karim (1/47) sebuah faidah yang sangat dalam tentang makna firman Allah (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” (al-Fatihah)
Beliau mengatakan :
Di dalam firman Allah (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya nikmat agama itu lebih besar/lebih berharga daripada nikmat dunia. Karena sesungguhnya diantara kelompok orang-orang yang dimurkai dan tersesat itu ada orang-orang yang Allah beri nikmat dengan nikmat-nikmat yang besar dalam hal keduniaan. Akan tetapi nikmat-nikmat ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nikmat-nikmat di dalam agama. Oleh sebab itulah Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” (al-Fatihah)
Suatu ketika Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari maka dia menjumpai beliau ‘alaihis sholatu was salam dalam keadaan sebagian tubuh beliau memperlihatkan bekas berbaring di atas (tikar) pembaringannya yang ada di sisinya, maka Umar radhiyallahu’anhu pun meneteskan air matanya.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Apakah gerangan yang membuatmu menangis, wahai Umar?”. Beliau menjawab, “Anda adalah seorang nabi utusan Allah. Sedangkan Kisra dan Kaisar (penguasa Persia dan Romawi, pent) berada di atas singgasana berlapiskan emas?” Maka Nabi pun berkata, “Wahai Umar, tidakkah engkau ridha bahwa untuk mereka dunia sedangkan untuk kita negeri akhirat?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian nukilan faidah dari Syaikh al-Utsaimin rahimahullah.
Di dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu menjawab pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Wahai Ibnul Khattab, tidakkah engkau ridha bahwa untuk kita negeri akhirat sedangkan dunia untuk mereka?” maka aku -Umar- pun menjawab, “Tentu (saya ridha).” (HR. Muslim no. 1479)
Disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas tikar yang kasar tanpa ada kasur/pembaringan di atasnya. Hal ini -sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah– menunjukkan sifat tawadhu’ pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking kasarnya tikar itu sampai-sampai ia meninggalkan bekas di badan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Min-hatul Malik al-Jalil, 8/1101)
Sahabat Umar membandingkan keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu sederhana dengan keadaan orang-orang kafir yang menjadi penguasa dunia semacam Kisra dan Kisar yang memiliki berbagai kemewahan dan kemegahan. Meskipun demikian, kita lihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bijaksana dalam menghadapi keprihatinan Umar ini. Beliau tidak meragukan kecintaan Umar kepada nabi dan agama yang haq ini. Hanya saja beliau ingin mengingatkan sahabatnya bahwa kesenangan dunia ini hanya sementara dan pasti akan sirna. Seolah-olah beliau ingin mengajarkan kepada kita bahwa apa lah artinya segala kesenangan dunia jika itu harus berakhir dengan siksa dan kesengsaraan abadi di akhirat nanti.
Maka demikianlah semestinya kehidupan seorang muslim. Tidaklah ia menggantungkan hatinya kepada dunia dengan segala kemewahannya. Biarlah dunia ada di genggaman tetapi hati tidak boleh sedikitpun mabuk karenanya. Seorang muslim hidup di dunia seperti seorang pengendara yang singgah di tengah perjalanan dan berteduh di bawah pohon. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa dunia itu laksana penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir. Orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya dalam kehidupan dunia ini tanpa mengenal halal dan haram, mereka hidup seperti binatang. Adapun seorang muslim dia akan selalu tunduk dan terikat dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidak pantas bagi seorang mukmin lelaki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)
Nikmat agama jauh lebih besar dan lebih agung daripada nikmat dunia. Oleh sebab itu tidak selayaknya seorang hamba yang telah Allah muliakan dengan hidayah dan keimanan kemudian justru tertipu oleh kehidupan dunia. Seandainya orang rela menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menumpuk-numpuk kesenangan dunia, maka sudah tentu wajar apabila seorang muslim benar-benar mengatur waktunya untuk tunduk kepada Allah dan ajaran-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan orang merugi/tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Sebagian orang ketika diberi nikmat sehat lupa bahwa badannya butuh kepada ibadah dan keimanan, sebab badan tanpa ibadah dan keimanan adalah bangkai yang berjalan. Seperti jasad tanpa ruh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)
Hakikat dzikir adalah taat dan patuh kepada Allah. Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, maka bagaimanakah kiranya keadaan seekor ikan apabila dilepaskan dari air? Karena itulah Allah menyebut orang-orang yang tenggelam dalam kekafiran sebagai orang yang mati. Banyak orang tidak sadar bahwa kematian hati telah menjangkiti dan menggerogoti jiwanya. Hati yang hidup akan memberikan tanggapan terhadap perintah dan larangan Allah. Hati yang hidup akan menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Hati yang hidup merasakan kesakitan akibat sayatan dosa dan maksiat. Hati yang hidup akan memperhatikan peringatan dan nasihat-nasihat, sedangkan hati yang mati tidak mau peduli akan peringatan dan nasihat-nasihat yang ditujukan kepadanya.